Oleh: Arif Septiawan Wicaksono (Mahasiswi Praktek Kerja Profesi Tahun 2025)
A. Pendahuluan
Fenomena dispensasi nikah kembali menjadi sorotan publik seiring meningkatnya permohonan yang diajukan ke pengadilan agama di berbagai daerah. Dispensasi nikah, yang sejatinya dimaksudkan sebagai solusi darurat bagi kondisi-kondisi tertentu ketika calon mempelai belum memenuhi batas usia minimal perkawinan, kini kerap dipandang sebagai jalan pintas untuk melegalkan perkawinan anak. Dalam praktiknya, kebijakan ini sering kali berseberangan dengan upaya pemerintah dan masyarakat dalam mencegah perkawinan usia dini yang berpotensi menimbulkan dampak sosial, psikologis, dan hukum jangka panjang. Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebenarnya telah menaikkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, ketentuan mengenai dispensasi nikah membuka celah bagi orang tua untuk tetap mengajukan izin menikahkan anaknya di bawah umur dengan alasan tertentu. Di sinilah muncul dilema: apakah dispensasi nikah benar-benar merupakan langkah darurat yang melindungi kepentingan anak, atau justru menjadi celah hukum yang memperkuat praktik perkawinan anak? Permasalahan ini menjadi penting untuk dikaji karena menyangkut masa depan generasi muda Indonesia, serta menantang konsistensi negara dalam menegakkan prinsip perlindungan anak. Melalui tulisan ini, akan dibahas bagaimana dispensasi nikah dipraktikkan, apa tujuan awal dari pengaturannya, serta sejauh mana penerapannya masih selaras dengan semangat perlindungan anak dan keadilan sosial.
B. Pembahasan Dan Materi
Dispensasi nikah (dispensasi kawin) adalah izin pengecualian yang diberikan oleh pengadilan agar seseorang yang belum mencapai batas usia minimal perkawinan boleh melangsungkan perkawinan. Dispensasi dimaksudkan sebagai pengecualian terhadap ketentuan usia dalam undang-undang perkawinan ketika terdapat alasan-alasan khusus. Pernyataan aturan dan praktik dispensasi ini diatur lebih lanjut oleh kebijakan peradilan.
Dasar hukum dan regulasi utama:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 (perubahan atas UU Perkawinan) menetapkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Ketentuan ini menjadi landasan bahwa perkawinan di bawah 19 tahun pada prinsipnya dilarang, kecuali ada dispensasi dari pengadilan.
2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin — mengatur prosedur, syarat dan pertimbangan hakim saat mengadili permohonan dispensasi. Perma ini memuat aspek-aspek yang harus diperiksa pengadilan, termasuk kepentingan terbaik bagi anak.
3) Peraturan perundang-undangan lain terkait perlindungan anak (mis. UU Perlindungan Anak, peraturan KemenPPPA) dan putusan-putusan pengadilan yang menguatkan interpretasi tentang kepentingan terbaik anak sebagai tolok ukur utama. (Sumber-sumber ini dijelaskan pada bagian referensi dan putusan.)
Mekanisme permohonan & pedoman pengadilan, Permohonan dispensasi diajukan ke Pengadilan Agama (atau Pengadilan yang berwenang sesuai agama/keadaan). Perma No.5/2019 memuat syarat administratif (surat permohonan, identitas, bukti alasan—mis. kehamilan), dan pedoman materiil yang harus dinilai hakim seperti: alasan mendesak, bukti kesiapan calon mempelai, dan apakah perkawinan benar-benar untuk kepentingan terbaik anak.
Dispensasi nikah merupakan izin pengecualian yang diberikan oleh pengadilan bagi calon mempelai yang belum mencapai batas usia minimal 19 tahun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini diperjelas melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, yang menegaskan bahwa pemberian dispensasi hanya dapat dilakukan untuk alasan mendesak dengan tetap mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering menimbulkan dilema karena di satu sisi dianggap sebagai solusi darurat bagi keadaan tertentu, seperti kehamilan di luar nikah, sedangkan di sisi lain justru berpotensi menjadi jalan pintas untuk melegalkan perkawinan anak. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa jumlah permohonan dispensasi nikah masih tinggi meskipun batas usia perkawinan telah dinaikkan, menandakan bahwa norma hukum belum sepenuhnya efektif menekan praktik perkawinan anak. Padahal, perkawinan di usia muda berisiko menimbulkan dampak sosial, psikologis, dan ekonomi yang serius, serta bertentangan dengan semangat perlindungan anak sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Oleh karena itu, penerapan dispensasi nikah perlu dilakukan secara selektif dan hati-hati, dengan mempertimbangkan kesiapan fisik, mental, dan sosial calon mempelai, serta melibatkan peran aktif hakim, psikolog, dan lembaga perlindungan anak agar dispensasi benar-benar menjadi solusi darurat yang melindungi masa depan anak, bukan sekadar celah hukum yang memperkuat praktik perkawinan dini di Indonesia.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa dispensasi nikah pada dasarnya merupakan mekanisme hukum yang bersifat pengecualian atau solusi darurat, yang diberikan oleh pengadilan untuk mengatasi kondisi tertentu ketika calon mempelai belum mencapai batas usia minimal perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini diperkuat melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 yang mengatur pedoman bagi hakim dalam mengadili permohonan dispensasi kawin, dengan menekankan bahwa pemberian izin hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan mendesak dan tetap memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Namun dalam praktiknya, pelaksanaan dispensasi nikah di berbagai daerah masih menimbulkan perdebatan dan dilema hukum. Di satu sisi, dispensasi nikah dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang telah terlanjur berada dalam situasi mendesak, seperti kehamilan di luar nikah atau tekanan sosial tertentu; tetapi di sisi lain, kebijakan ini justru sering dimanfaatkan sebagai jalan pintas untuk melegalkan perkawinan anak, tanpa mempertimbangkan kesiapan fisik, psikologis, dan mental anak tersebut.
Tingginya angka permohonan dispensasi nikah yang tercatat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa peningkatan batas usia perkawinan belum sepenuhnya efektif dalam menekan praktik perkawinan anak di Indonesia. Kondisi ini memperlihatkan bahwa permasalahan perkawinan anak bukan semata-mata persoalan hukum, melainkan juga terkait erat dengan faktor sosial, budaya, ekonomi, dan pendidikan masyarakat. Akibatnya, meskipun secara hukum negara telah menetapkan batas usia dan pedoman yang tegas, implementasi di lapangan masih kerap menimbulkan inkonsistensi dan penyimpangan terhadap semangat perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kebijakan dan pengawasan pelaksanaan dispensasi nikah, termasuk kewajiban asesmen psikologis bagi calon mempelai, pelibatan lembaga perlindungan anak, serta peningkatan kapasitas hakim agar penilaian terhadap setiap permohonan benar-benar objektif dan berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak.
Selain itu, masyarakat juga perlu diberikan edukasi hukum dan kesadaran sosial tentang dampak negatif perkawinan anak, baik dari segi kesehatan, pendidikan, maupun masa depan ekonomi, agar tidak menjadikan dispensasi nikah sebagai solusi utama atas permasalahan sosial. Pemerintah, lembaga peradilan, dan masyarakat harus bersinergi dalam memastikan bahwa dispensasi nikah tidak disalahgunakan dan tetap berada pada posisi sebagai mekanisme perlindungan hukum dalam keadaan luar biasa, bukan sebagai celah hukum untuk menormalisasi perkawinan anak. Dengan demikian, fungsi dispensasi nikah dapat kembali kepada tujuan awalnya, yakni memberikan perlindungan dan kepastian hukum tanpa mengorbankan hak-hak anak serta menjamin terwujudnya generasi muda yang sehat, berpendidikan, dan siap menghadapi masa depan.